Cinta Monyet


Genre : Remaja
Story by Risma Mega
Cerita Pendek



Bila ada yang bertanya mengapa aku suka sekali setiap pagi berada duduk di atap. Jawabannya karena setiap pagi aku bisa melihat pemandangan yang menakjubkan. Jika di dunia ini memang ada surga. Maka aku akan bilang pemandangan setiap pagi adalah surga untukku dan atap rumahku tempatnya.
Lima menit. Memang hanya lima menit aku bisa memandang seseorang yang bisa membuat pipiku memerah tanpa sebab. Senyumnya selalu menenangkanku. Meringankan hatiku untuk memulai pagi yang indah. Sebenarnya hari ini gerimis dan kelabu, tapi tidak untukku. Hari ini indah, cerah dan penuh dengan irama. Irama indah ketika dia menyapaku.
“Pagi, Ariska.”  Sapa Kak Darrent dari bawah. Dia sudah mau berangkat ke kampus.
“Pa..pagi, Kak Darren” jawabku sambil memasang senyum termanis yang ku punya. 
“Mau bareng berangkat ke sekolahnya, Ariska?”
“Mau. Eh... nggak nggak usah aku bareng Kak Ryan saja.”
“Oh, okey. Kakak berangkat duluan ya. Kamu masuk jangan di sana nanti sakit, gerimisnya mulai lebat.” Aku hanya mengangguk. Bagai kerbau dicocok hidungnya aku menurut masuk ke dalam kamar kembali. 
Oh Tuhan, terima kasih keajaiban setiap pagi yang Engkau berikan padaku. Suaranya benar-benar seperti irama. Teman-teman perempuan Kak Ryan selalu bilang kalau suara Kak Darrent itu sexy. Dan aku setuju dengan pendapat mereka. Hihihi...
Kakiku jingkrak-jingkrak dan bibirku tak lupa senyum lebar seperti orang baru dapat hadiah. Maksudnya seperti orang gila sih. Ah bodo amat orang mau berbendapat apa, yang penting hari ini aku senang.
“Ngapain kamu De, lompat-lompat sambil senyum.” Tanya Kak Gaby sambil melenggang masuk. Melunturkan kesenanganku dalam sejenak.
“Lagi olahraga pagi.” Jawabku sekenanya. Dasar punya kakak nggak peka. Nggak lihat orang lagi seneng.
“Cepet turun. Kak Ryan udah nunggu. Mau bareng nggak?”
“Iya iya, sekarang aku ke bawah.”
Ku masukkan ke dalam tas ransel biru, buku-buku pelajaran hari ini dan tak lupa mengambil kanvas yang akan dikumpulkan sebagai tugas seni rupa. Sebelum keluar kamar aku berdiri di depan kaca, melihat penampilanku. Badanku kugerakkan ke kiri ke kanan, ke kiri lagi ke kanan lagi. Okey, perfect! Waktunya ke medan perang.
“Cepat turun jangan kecentilan di depan cermin. Bercermin berapa kali pun nggak akan merubah yang sudah terjadi padamu De.”
“Maksudmu apa Kak. Emang apa yang terjadi sama aku.”
“Maksudnyaa... kalau udah tampang pas-pasan ngaca berapa kali pun nggak akan merubah kamu jadi cantik. Yang ada kacanya pecah karena bosen lihatin kamu, De...Hahaha” ucap Kak Deby sambil berlari keluar kamar.
“AHHH!!! Nyebelin banget sih punya kakak satu ini.” Gerutuku.
Selagi kakiku menapaki satu persatu lantai tangga, Kak Gaby sudah keluar rumah sambil menjulurkan lidahnya meledekku. Ku hempaskan pantatku di kursi. Dengan perasaan dongkol kusuapkan nasi goreng yang terlihat menggoda namun tak berselera tuk menelannya.
Ayah seperti biasa sarapan sambil mengecek email di Tabnya. Sesibuk mata Ayah fokus ke Tab, beliau paling senang menginterogasi anak-anaknya tentang segala kegiatan yang dilakukan. Pasti beberapa detik lagi sebuah pertanyaan terlontar entah untukku, Kak Ryan, atau pun Angga adikku. Kak Gaby nggak termasuk karena dia tahu akan ada sesi tanya jawab atau interogasi dan itu menyebalkan.
***
Ariska turun dari motor, melepaskan jas hujan dan menyerahkannya kepada Kak Ryan. Ryan menarik tangan Ariska hingga dihadapannya. Dia membenarkan ikatan dan mengelap wajah Ariska terkena air hujan. So sweet banget sih Kakakku satu ini. Ryan tersenyum melihat adiknya.
“Perfect.”
“Sana masuk. Belajar yang bener jangan mikirin cowok-cowok yang nggak jelas ya.” Ucapnya seraya mengusap kepala Ariska dengan sayang.
“Otre Bos. Siap laksanakan.” Ariska memberi hormat dan berdiri tegap sempurna.
“Adek masuk dulu Kak.” Ariska mencium tangan Ryan. Dia berlari menuju gerbang sekolah, tangannya tak henti melambai ke arah Ryan.
Ryan hanya menggeleng melihat tingkah adiknya yang satu itu. Setelah sosok Ariska menghilang dari pandangannya, Ryan melajukan motor menuju kampus

***

Suasana dalam kelas benar-benar kacau balau. Dua jam terakhir tak ada pelajaran, tugas atau apapun. Sungguh suatu keajaiban bagi kami. Alhasil, dua jam tersebut kami gunakan untuk bersantai menunggu bel pulang sekolah berbunyi nyaring. Beginilah kalau kelas terpisah dari kelas-kelas yang lain, jauh dari TU, ruang BP, ruang guru dan kepala sekolah. Kelasku berada paling belakang berdampingan dengan ruang penyimpanan alat olahraga, Mushola dan kantin. Jadi, bebas berisik kalau guru yang berhalangan hadir.
Matheo anak di belakangku tak hentinnya memukul-mukul meja menggunakan buku lembar kerja siswa yang digulung sebagai pengganti stick. Rifda, ayu, naomi dan Alvi sedang bergosip ria. Sander dan Amalia seperti biasa berduaan duduk di pojokkan. Teman yang lainnya ada yang kejar-kejaran, ada yang sedang main gitar dan beberapa ada yang sedang mengerjakan tugas.
Aku seperti biasa kalau jadwal pelajaran kosong, kerjaanku corat-coret di sketchbook. Sketchbooknya sudah hampir penuh dengan wajah My Prince Charming, siapa lagi kalau bukan Kak Darrent. Tiga buku sketchbook sering setiap hari aku bawa ke sekolah yang besar dan dua yang ukuran B5. Karena aku sangat suka dengan warna, jadi menggambar dan fotografi adalah kegiatanku.
“Serius amat yang lagi konsentrasi buat sketsa sang pujaan hati.” Sindir Naura.
Aku lupa satu lagi dia sahabatku Naura dari kita SD sudah berteman sebangku juga. Untuk sekarang kita nggak sebangku lagi, tapi kita tetep kompak. Dia sekertaris di kelas ini.
“Nggak bosen tuh, gambar Kak Darrent melulu.” Aku hanya menggeleng.
Naura menarik tanganku mengajak untuk pergi ke kantin, “Ayo, Ariska kita ke kantin. Laper nih.”
“Bentar dikit lagi.”
“Dikit lagi kamu. Sekarang.”
“Suer, dikit lagi. 15 menit lagi.”
“8 menit.”
“10 menit.”
“3 menit.”
“Tujuh setengah menit.”
“SATU MENIT, Ariska.” Pelotot Naura.
“Lima menit. Lima menit, beneran. Please!” Ucapku menunjukkan wajah memelas. Tangan aku katupkan tanda memohon pengertiannya.
Akhirnya Naura mengalah. Dia kembali ke tempat duduk sambil memajukkan bibir dan menghentakan kaki karena kesal.
Antrian di kantin penuh sesak semua didominasi teman sekelasku, ada beberapa adik kelas sudah selesai olahraga hanya memesan minum untuk menghilangkan dahaga.
“Kamu sudah tahu Pak Evans kenapa hari ini nggak datang?” Naura menggeleng lesu.
Pak Evans merupakan guru baru mengajar mata pelajaran Fisika. Dan sahabatku satu ini pengagum terberatnya. Naura yang nggak suka pake banget ama Fisika mendadak berubah 180 derajat, bukan ding 360 derajat dari suka katanya sekarang dia cinta abis ama pelajaran ‘Fisika’.
“Emang kenapa?”
“Besok juga kamu bakalan tahu.” Ucapku sambil memasukkan potongan bakso ke mulut.
“Dasar! Kalau sama-sama nggak tahu jangan ngomong deh.” Jawabnya sambil menyeruput jus strawberynya.
Jadi nggak tega ngasih tahunya. Hari ini Pak Evans sedang berada di rumah Kak Darrent. Kata Bunda Kak Prisya hari ini bakal di lamar. Kak Prisya itu kakaknya Kak Darrent dan Pak Evans pacar Kak Prisya. Nanti malam kita sekeluarga bakal datang ke sana.
Drrrtttt drrrrtttt
Handphoneku bergetar. Ku ambil di saku rok sekolahku. Ku lihat siapa yang menghubungi, ternyataa... YEAH Kak Darrent. Seketika terasa ada sejuta bintang mengelilingiku. Dengan suara selembut mungkin aku menjawab.
“Hallo Ariska.” Sapa suara merdu di seberang sana memanggil namaku.
“Ya.”
“Nanti jangan dulu pulang ya. Kak Darrent bakal jemput Ariska soalnya Kak Ryan nggak  bisa jemput.”
“Ya.”
“Kamu marah ya, Kak Ryan nggak bisa jemput. Jangan marah ya, soalnya Kak Ryan masih ada bimbingan tugas akhirnya, jadi Ryan nggak bisa jemput.”
“Nggak marah kok.” Malah aku seneng tiap hari Kak Ryan ada bimbingan nggak masalah. Jadi bisa dijemput sama Kak Darrent terus. Hanya bisa bilang dalam hati saja.
Hihihi
“Jawabnya ya ya aja, kirain kamu marah. Jam berapa pulang sekolahnya?”
“45 menit lagi bell pulang. Tapi aku ada rapat dulu di ArtClub. Kak Darrent sekarang dimana?”
“Sekarang masih di jalan deket kampus. Nanti Kak Darrent kasih tahu ya kalau sudah sampai depan sekolah. Ariska juga kasih tahu kalau nanti sudah beres rapatnya.”
“Baik, Kak.”
“Kakak tutup dulu ya. Nanti dihubungi lagi.”
Satu jam lebih molor dari yang dijadwalkan. Artclub merupakan organisasi yang baru beberapa tahun dibentuk. Dan ditahun ini kami mengadakan pameran untuk Charity. Dan nggak nyangka juga sponsornya banyak. Nanti karya-karya dari sekolah kami dan beberapa sekolah lain yang akan di pajang, kemudian dilelang. Mulai dari lukisan, fotografi, dan seni kriya. Tidak jadi masalah dengan rapat yang lama tapi menghasilkan sesuatu yang kami harapkan. Ternyata banyak peminat dan lumayan dapat sponsor. Waw
Kegiatan wajib dilakukan anggota Artclub sebelum pulang sekolah harus membereskan ruangan dulu, jadi ketika besok mau digunakan lagi untuk rapat keadaan dalam ruangan sudah bersih dan nyaman. 
“Ariska, laporan keuangan dan laporan dana dari sponsor biar aku yang bawa. Sekalian mau digabung dengan laporan yang lain biar nggak kececer.” Vino ketua Artclub yang menjadi penanggungjawab acara. Aku menyerahkan tiga map laporan keuangan. Laporan yang setiap hari aku bawa ke sekolah akhirnya berpindah tangan juga.
“Thank Vin .”
“Jangan lupa hari minggu ini kita nyebar undangan buat pameran. Kalau kamu punya kenalan untuk membantu dalam charity undang saja ya?”
“Baik Pak Ketu. Akan saya laksanakan.” Ucapku sambil memberi hormat. Teman-teman di dalam ruangan Artclub tertawa melihat tingkahku.
“Aku duluan ya.” Pamitku kepada semua teman-teman yang masih tersisa di ruangan. “Tetap semangat teman-teman.”
“Kamu yang semangat di jemput Pangeran Charming, kita pangeran kodok pun nggak!!” Teriak Naura dari dalam ruangan.
Itu mulut nggak bisa dikontrol dikit. Gerutukku.
“Deritamu!!!” Aku balas teriak sebelum berlari menuju parkiran.
Segera aku menghubungi Kak Darrent dan meminta beribu-ribu maaf. Karena disuruh menunggu lama. Dengan rasa bersalah aku hampiri Kak Darrent yang tak lepas menyunggingkan senyumnya. Aku membalasnya.
“Maaf nunggu lama.”
Ketika langkahku sedikit lagi mendekati Kak Darrent senyumku sedetik langsung sirna melihat pemandangan di depan. Ada makhluk cantik bergelayut manja di tangan Kak Darrent. Makhluk tersebut tersenyum padaku. Entah apa arti senyumnya.
“Ariska kenalkan ini Sonya.” Kak Darrent membuyarkan lamunanku.
Oh. Makhluk bernama Sonya itu mengulurkan tangannya. Dengan enggan aku menyambut tangan lentik, putih dan... halus. Sonya memiliki perawakan tidak terlalu tinggi, malah kita sepantar, cantik sudah pasti dan dia senang tersenyum. Dan harus kuakui senyumnya sungguh menawan siapa yang lihat pasti jatuh hati. Aku perhatikan Sonya seumuran dengan Kak Gaby. Kulihat mereka berdua, satu tampan satu cantik, mereka serasi banget sebagai pasangan.
Selama perjalanan pulang aku hanya menjadi obat nyamuk. Mereka, Kak Darrent dan Sonya saling berbisik lalu tertawa. Sesekali Kak Darrent suka ngajakku ngobrol. Aku melorotkan badanku. Di kursi penumpang aku bisa melakukan semauku. Aku harus cari sesuatu ngilangin rasa kesel, ngenes, gondok menjadi satu. Sketchbook kecil yang aku ambil dari tas masih utuh dan mencorat-coretnya dengan kesal.
Jadilah seorang nenek sihir memperlihatkan kelicikannya sedang mengaduk ramuan di kualinya.
“Waww. Gambarmu bagus banget.” Sebuah suara membuyarkan ritualku dengan sketchbook. Sonya mengambilnya dan memperlihatkan ke Kak Darrent.
“Bagus banget.” Ucapnya sekali lagi.
“Hebatkan. Ariska bisa menggambar lebih dari itu, lho.” Tunggu. Barusan Kak Darrent memujiku atau telingaku saja yang memang ingin mendengar sesuatu yang manis dari Kak Darrent.
“Makasih. Aku masih belajar.” Ucapku merendah.
Sonya mengembalikan sketchbook. “Kamu berbakat.” Pujinya singkat. Terdengar nada tulus dari ucapannya.
Akhirnya sampai juga. Aku keluar dari mobil dan mengucapkan terima kasih. “Nanti malam datang kan?”
“Iya. Ariska ke dalam dulu ya. Sekali lagi terima kasih atas tumpangannya.”
Aku berlalu tanpa mau melihat lagi ke belakang. Benar-benar menyebalkan, kenapa harus ada Sonya. Kenapa nggak nganter Sonya dulu baru nganterin aku pulang.

***

Malam ini Ayah, Bunda, Kak Ryan, Kak Gaby dan Angga sudah siap. Mereka sedang menungguku di bawah. Aku bingung harus pakai baju apa. Pakaianku sudah hampir semua berpindah ke tempat tidur. Belum ada satu pun baju yang pas untukku pakai.
Tok tok tok
“Kak Ayang udah belum. Semua udah siap.” Ayang merupakan nama panggilanku. Dulu aku sering disebut Adek. Karena Angga hadir ke dunia jadi Ayanglah panggilanku sampai saat ini. Angga sekarang sudah kelas 4 SD, tumbuh menjadi cowok yang bisa nyaingin Ayah ama Kak Ryan.
Ceklek
Angga membuka pintu kamarku. Matanya melotot melihat kamarku yang acak-acakan.
“Kakak lagi nyari baju yang cocok. Tapi nggak nemu juga.” Jawabku melihat tampang adikku yang shock.
“Pakai pakaian apapun Kak Ayang tetep cantik kok.” Ucapnya menenangkan. Angga meskipun masih kelas 4 tapi bisa bersikap dewasa dan tenang.
“Tapi nggak secantik Kak Gaby.” Keluhku. Angga mendengus. Di raihnya dress biru muda selutut. Diserahkannya kepadaku.
“Ini pakai.” Suruhnya.
Aku mengambil dress dan melenggang masuk ke kamar mandi. Setelah itu Angga menuntunku ke kursi.
“Kalau Kak Ayang sama kayak Kak Gaby, berarti Adek nggak ada yang belain lagi. Nanti Kak Ayang sama jadi nyebelin seneng ngeledek Adek. Nanti adek minta tolong sama siapa.” Angga menunduk. Wajahnya terlihat sedih. Aku merangkul adikku ini. Maklum kita sama-sama sepenanggung sependeritaan kalau mengenai Kak Gaby. Kita sering jadi bahan usilnya Kak Gaby.
Angga melepaskan pelukannya. Dia berjalan kebelakangku menalikan pita yang masih menjuntai ke bawah. “Kak Ayang nggak bisa jadi orang lain untuk cantik. Di mata adek kakak paling cantik. Karena adek lebih suka Kak Ayang bukan orang lain. Kalau Kak Ayang ingin jadi orang lain, Adek nggak mau kenal Kak Ayang lagi.” Tuturnya. Ada bola kristal kecil hampir jatuh di sudut mataku mendengarkan ucapannya.
CCUP
Angga mencium pipiku dan memelukku. “Cepetan nanti kita diomelin.” Cengirnya sambil menutup pintu.

***

(AUTHOR)
Mobil BMW X5 M melaju memasuki gedung tempat diselenggarakannya pesta pertunangannya Prisya. Di depan sana terlihat sosok Darrent dan Ryan yang sudah terlebih dahulu sampai. Mobil berhenti tepat di depan mereka. Darrent membukakan pintu penumpang, Gaby keluar terlebih dahulu setelah mengucapkan terima kasih dia langsung bersama Angga masuk.
Setelah itu giliran Ariska keluar dari dalam mobil di sambut oleh tangan Darrent yang hendak membantunya turun. Ariska kaget mendapatkan uluran tangan. Dengan malu-malu Ariska menerima uluran tangan Darrent. Ariska berdiri di hadapan Darrent dengan kikuk. Tangannya masih menggenggam tangan Darrent.
“Kamu cantik.” Ucap Darrent sambil mencondongkan badannya ke depan. Wajahnya tepat berada di depan wajah Ariska beberapa senti. Dengan keadaan seperti ini wajah Ariska seperti terbakar, dia senang sekaligus malu.
Sedangkan Ryan menuju kursi sopir dia memarkirkan mobil Ayahnya di tempat yang sudah disediakan.
Darrent menggenggam tangan Ariska menuju ke dalam gedung. Ariska terdiam mendapat perlakuan seperti ini. Dia seperti bermimpi tangan mereka saling menggenggam dan bertautan. Tanpa disangka genggaman mereka harus terurai karena sekarang tangan Ryan menggenggam tangan Ariska dan tangan satunya lagi berada di pundak Darrent.
UH, dasar penganggu.
Ryan tak merasa bersalah dia hanya tersenyum kepada sahabatnya yang terlihat sedikit kesal. Dan sama halnya dengan Ariska.
“Lebih aman tangannya di pegang kakaknya sendiri.” Bisik Ryan di telinga Ariska. Ariska hanya diam sambil bibirnya menirukan ucapan Ryan.
“Kalian sudah datang!” Suara ceria menghentikan langkah mereka. Sonya dengan gembira menyambut mereka dan langsung memeluk Darrent.
Kenapa Sonya selalu ada? Sonya siapanya Kak Darrent? Teman atau pacarnya? Hati Ariska bertanya-tanya.
Ariska melanjutkan langkahnya setelah matanya menemukan Prisya. Disusul Ryan, Darrent dan Sonya. Ryan hanya tersenyum dengan tingkah adiknya.
Psiya melihat Ariska mendekat ke arahnya. “Ya ampun cantiknya kamu Ariska. Kak Prisya sampai pangling.” Puji Prisya memeluk Ariska dan mencium pipi putih chubby menggemaskan.
“Terima kasih. Kak Prisya yang paling cantik di sini.”
“Iya dong, diakan calon istri saya.” Ucap Evans seraya mendekati Ariska dan Prisya. Tangannya melingkar di pinggang Prisya.
“Oh iya, kenalin ini Ariska yang sering aku ceritain. Ini Evans calon suami Kakak.” Jelas Prisya pada Ariska.
“Pak Evans juga gagah.” Puji Ariska tulus sambil memberikan dua jempol untuk Evans.
Ariska tersenyum “Selamat Pak Evans. Sepertinya di sekolah bakal banyak yang patah hati nih kalau tahu Pak Evans sudah ada yang punya.”
“Pak.” Prisya bingung dengan ucapan Ariska barusan.
“Oh. Ariska salah satu murid yang saya ajar.” Jelasnya.
“Serius.” Prisya memandang mereka berdua. Ariska dan Evans mengangguk bersamaan. “Kebetulan sekali jadi Kak Prisya bisa cari informasi tentang Evans. Nanti kalau Evans nakal di sekolah Ariska laporin ya?” Bisik Prisya.
“Sip!” ucap Ariska seraya mengacungkan kedua jempolnya. “Kak Prisya jangan khawatir nanti Ariska kasih tahu kalau nanti Pak Evans macam-macam.”
“Ariska termasuk salah satu murid saya yang patah hatikah?” Evans mengalihkan pembicaraan kedua Hawa tersebut yang sedang menyudutkan dirinya.
“NO.” Ucap Ariska tegas.
Mata Ariska tidak berhenti menjelajah seisi gedung mencari sosok sang pujaan hati. Ternyata dari tadi Darrent tak berada di sini. Prisya yang melihat gelagad Ariska tahu, Ariska mencari Darrent adiknya. Prisya tahu bahwa gadis kecil di hadapannya ini menyukai Darrent dari dulu. Bagaimana cara Ariska memandang, mendadak pendiam ketika berdua, selalu semangat kalau sudah membicarakan Darrent dan selalu salah tingkah.
“Kamu mencari Kak Darrent?” Bisik Prisya. Ariska segera mengangguk lalu menggeleng. “Nggak aku nggak cari siapa-siapa.” Bohongnya.
“Beneran? Kalau mau ketemu Darrent, dia ada di sebelah air mancur. Sudah sana.”
Air mancur yang dimaksud Prisya tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. Ariska melangkahkan kaki menuju air mancur. Dia membelah kerumunan orang-orang yang sedang menikmati pesta. Ariska mematung melihat pemandangan yang menyakitkan mata. Darrent sedang mengusap kepala Sonya dengan sayang dan menanggapi semua cerita Sonya sambil tersenyum manis. Ariska memutarkan tubuhnya dan berjalan secepat mungkin. Namun, ada tangan yang menggenggam tangan mungil Ariska.
“Mau kemana?” Tanya Darrent. Darrent kini ada di hadapannya.
“Mau pulang. Sekarang mau cari Kak Ryan.” Bohongnya. Wajah Ariska menunduk menahan tangis yang hampir keluar.
“Kenapa pulang?” Ucap Darrent lembut. “Ariska baru datang, kan.”
“Nggak Ariska mau pulang. Ariska capek.”
“Ya sudah Kak Darrent yang antar ya.”
“Kak Darrent temenin Sonya aja.” Lirih Ariska sambil mencoba melepaskan tangan Darrent yang menggenggamnya sedari tadi. Dia tak enak jika ada yang melihat, apalagi Sonya.
“Dia lagi sama temen-temennya.”
Darrent menarik tangan Ariska dengan lembut menuju parkiran. Tangan kanannya menggenggam handphone sambil mengetik pesan memberitahu Ariska pulang dengannya.
Darrent : Ryan, Ariska aku antar pulang.
Ryan : Ayang nggak kenapa-kenapa kan, Darrent?
Darrent : Nggak. Katanya dia capek. Pingin istirahat. Kemungkinan dia bosen di pesta.
Ryan : Ok. Jagain dia.
Darrent : Udah pasti
Obrolan mereka selesai. Darrent membukakan pintu mobil untuk Ariska. Tangannya diletakkan di atas kap pintu biar kepala Ariska tidak terbentur. Sesudah Ariska memasang sit-belt, mobil hitam Bentley Bentayga melaju meninggalkan gedung.
Jalanan malam ini masih menunjukkan aktifitas. Padahal waktu sudah menunjukkan jam 10 malam. Mobil-mobil padat merayap memenuhi jalan raya. Apalagi hari ini malam minggu. Bukan hanya anak muda yang keluar tetapi berbagai kalangan usia untuk melepaskan penat setelah selama lima hari mereka berkutat dengan urusan kerja dan sekolah.
Dua insan di dalam mobil belum ada yang membuka suara. Mereka masih dengan pikirannya masing-masing. Wajah Ariska dihadapkan ke kaca sesekali mulutnya mengeluarkan embun tangannya dijadikan pensil. Dia buat beberapa sketsa yang abstrak sesuai dengan hatinya.
“Kamu capek banget ya?” Ariska hanya menggeleng.
Ariska baru sadar selama macet dia diperhatikan oleh anak seusia Angga. Ariska menatap anak tersebut, kemudian menurunkan jendela. Dia merogoh sesuatu dalam tasnya. Diberikannya bungkusan berwarna pink.
“Maaf aku nggak bawa uang. Adanya cokelat. Kalau kamu mau boleh ambil.” Ucapnya. Tangan anak tadi mengambil bungkusan berisi cokelat dan mengangguk sebagai ucapan terima kasih. Darrent yang melihat itu mengambil selembar uang dan memberikannya kepada anak tadi.
Bibir Darrent melengkung tersenyum. Betapa dermawannya gadis di sampingnya kini. Kalau Ariska bawa uang dia pasti akan memberikannya kepada anak tersebut. Namun Darrent tahu meskipun orang tua Ariska selalu memberikan uang saku, tapi anak satu ini tak pernah meminta banyak. Alasannya karena pergi pulang sekolah dia akan di antar jemput Ryan. Kalau ada sisa Ariska selalu memasukkannya ke dalam celengan Bunny. Darrent tahu kalau Ariska mempunyai beberapa celengan Bunny, karena Ryan selalu membelikannya kalau celengan Ariska sudah penuh. 
“Kamu sudah makan?” tanya Darrent.
“Belum. Terakhir makan pas tadi di sekolah. Itu juga makan bakso.”
“ Tadi di pesta nggak makan sesuatu.”
“Nggak sempet.”
Salah Kak Darrent juga sih Ariska jadinya nggak selera, padahal tadi banyak makanan kesukaanku. Ariska menyalahkan Darrent, tapi dalam hati saja nggak berani kalau blak-blakan.
“Gimana kalau kita makan dulu. Kebetulan ka Darrent juga belum makan. Yuk!” Ajak Darrent.
“Boleh tapi dimana ini masih jalan tol?”
“Tenang. 200 meter lagi tol habis. Di sana ada tempat makan yang enak. Ada sate ayam juga kesukaan Ariska, lho.”
“Mau mau!” Ariska mendadak semangat. Mendengar sate ayam dan satu lagi makan berdua dengan Darrent. Kapan lagi ada kesempatan langka kaya gini.
Beberapa detik kemudian Ariska langsung diam dan menundukkan kepalanya, Karena Darrent memandang dengan begitu intens. Ariska malu dilihatin kayak gitu. Pipinya langsung bersemu merah lagi. Jantungnya lompat-lompat. Darrrent mengusap kepala Ariska dan kembali fokus mengemudi.
Cute
Malam dihiasi rintik hujan menambah kesan romantis bagi mereka yang pergi dengan pasangan. Bolehkah dua makhluk ini dikatakan pasangan. Mereka dengan asyiknya mengobrol sambil menunggu pesanan datang. Mereka duduk di kursi plastik tak ada meja hanya kursi, gerobak dan pemiliknya serta lampu petromak yang memberikan cahaya. Ada beberapa orang yang duduk di pinggir trotoar sebagai tempat duduk sambil menikmati hidangan yang telah disuguhkan.  
Dua puluh menit mereka menunggu akhirnya sate ayam dan sate kambing siap disantap.
“Selamat makan, Kak Darrent.”
“Selamat makan juga. Makan yang banyak ya.”
Darrrent mengambil satu tusuk sate. Di arahkannya ke Ariska. “Cobain deh kamu pasti suka.”
Ariska yang mendapatkan perlakuan manis mendadak jadi malu. Dia coba mengambil tusuk sate dari tangan Darrent, namun Darrent tak melepaskannya. Akhirnya dengan terpaksa Ariska memakannya dari tangan Darrent. Mukanya pasti sudah merah. Ariska coba menelan sate yang dia kunyah meski sedikit susah. Apalagi mata Darrent tak hentinya menatapnya sambil tersenyum.
“Waw. Ini enak... Nggak nggak ini sate terenak yang pernah Ariska makan.”  Ujarnya menyembunyikan kegugupannya.
Mereka makan dalam diam dengan pikiran masing-masing hingga tandas.


***
Continued
                                               

Comments