Pertemuan




Pertemuan

Di sini pertama kali kita bertemu. Pertemuan yang disambut guyuran hujan dan irama dentuman petir. Kita sama-sama berteduh mencari kehangatan dalam secangkir Caffucino. Mencari kedamaian dalam hati yang sepi. Kita dalam pikiran masing-masing.

Matamu menerawang, tanganmu menggenggam jemari dan meremasnya. Bibirmu tersenyum, namun terlihat ada gurat duka di sana. Entah apa yang terjadi padamu? Sedari aku perhatikanmu, kamu berada di dunia yang berbeda. Jemari kananmu memutar-mutar cincin yang tersemat di jari manis kirimu. Cincin itu terus berputar berputar sampai terlepas dari jemarimu. Matamu memandang cincin itu dan berkata “semuanya telah berakhir.” Cincin itu terlepas dari tanganmu jatuh ke lantai menggelinding ke sembarang arah hingga lenyap dari pandanganmu.

Kamu tersenyum, senyum pelepasan. Merelakan yang seharusnya pergi untuk pergi dan tidak bersikap egois untuk menahannya lebih lama. Mengapa menyaksikan sikapmu seperti itu menyakitkanku? Seakan-akan aku berada dalam posisismu.

Sedetik kemudian mata kita bertemu, saling beradu pandang. Mata kita seolah berbicara yang tak pernah diucapkan.

Perkenalan itu tidak harus dengan bertanya siapa nama kamu atau basa basi bodoh semacam itu tak pernah kita lakukan. Perkenalan itu berlangsung dalam diam, namun lebih dalam lagi  kita bercerita lebih dari kata-kata.

Masih ingatkah, kamu bercerita tentang kehidupanmu yang tidak pernah lepas dari sepi dan duka. Perempuan yang telah hampir empat tahun kamu cintai, diam-diam berpaling di belakangmu. Padahal telah kamu siapkan untuk menghabiskan sisa umurmu dengannya. Tanpa alasan jelas dia pergi karena alasannya kamu terlalu sepi. Kamu mencoba kubur semua yang kamu persiapkan untuknya dalam jurang kebisuan.

“untuk apa cinta yang sudah tak kita rasakan hangatnya dipertahankan. Akhirnya akan saling membohongi dan menyakiti perasaan masing-masing.” Ucapku sambil tak henti memandang matamu. Mata birumu seperti samudera itu seakan menyihirku untuk terus menyelam menyelami ke kedalaman hatimu

“Bukankah cinta itu saling melengkapi. Butuh kesabaran, kepercayaan dan kejujuran untuk menggapainya.” Balasmu dengan sikap tenang.

“Ketika cinta itu tak berlabuh padamu. Jangan kecewa, do’akan dia bahagia. Apabila dia membalikkan arah dan mendayung untuk mencari pelabuhan dimana dia akan tinggal selamanya... Atau dia akan mendayung dan mengarahkannya di pelabuhanmu lagi. Kita tak pernah tahu.” Kamu menjeda menghela napas panjang. “Berbahagialah ketika dia bahagia dengan pilihannya.”

“Maksudmu, melepaskannya begitu saja?” Tanyaku tak percaya. “Bagaimana dengan luka yang telah dia berikan padamu?”

“Luka. Ketika kamu sudah memutuskan untuk mencintai maka kamu harus siap mendapatkan bahagia dan luka secara bersamaan. Termasuk hal seperti ini.” Kamu meminum seteguk Caffuccino.
“Kamu mencintainya?”

“Ya. Sangat..... Dia perempuan pertama yang mampu menggetarkan hatiku. Bukan saja cantik secara fisik. Dia ceria penuh energi seakan dia mampu melengkapi segala kurangku. Dia sempurna di mataku.”

“Jika memang seperti itu, kenapa dia pergi berpaling meninggalkanmu?”

“Pertama aku juga bertanya, mengapa? Setelah aku merenungi lagi, ternyata semua salahku. Aku tak pernah bisa melengkapi hidupnya yang sempurna. Aku terlalu lemah untuk bersejajar dengannya. Aku juga tak pernah ada waktu untuk selalu berada di sisinya ketika dia membutuhkan. Aku terlalu sibuk dengan mengejar dan memperbaiki segala kurangku. Tanpa pernah bertanya apa yang dia rasakan.”

“Bukan salahmu. Dia juga bersalah. Pernahkah dia bertanya alasanmu melakukan semua ini. Ini demi dirinya, begitukan?”

Kamu menggelengkan kepala. Membenarkan dudukmu. Dan melanjutkan kembali, menumpahkan segala yang mengganjal di dalam hatimu. “Mungkin dia lelah selalu dia yang harus memahami dan memaklumiku. Ya, sekiranya aku sudah berusaha untuk membahagiakannya.”

Seberapa besar sakit yang kamu rasakan tak pernah sedikitpun kamu memojokkannya. Kamu selalu bercerita dia perempuan terindah yang pernah kamu miliki. Kamu begitu memujanya.

“Lalu bagaimana denganmu?” pertanyaanmu sungguh menohokku telak di ulu hati.

Aku hanya tersenyum. “Tak ada yang menarik dengan cerita hidupku.”

Perbincangan ini terasa begitu singkat namun dalam. Seandainya kamu tahu, aku ingin menjadi perempuan terindahmu. Tidak akan pernah terlintas dibenakku untuk berpaling. Menurutku kamu tidak pernah memiliki dunia yang sepi. Duniamu penuh warna, penuh kata. Sebab selama kita bercerita tak sedikitpun rasa jenuh suasana yang kamu ciptakan.

Kamu beranjak dari dudukmu seraya merapatkan mantel coklat yang membungkus tubuhmu. Mengangguk seolah-olah itu ijin agar aku dapat melepaskanmu pergi mencari sesuatu yang dapat mengobati lukamu.

Sepersekian detik kita di sini saling menghangatkan perlahan-lahan menumbuhkan  rasa kagum tak terhingga padamu. Ingin rasanya aku menahanmu lebih lama di sini. Membiarkanmu menghangatkan kisi-kisi hatiku dengan sepi ceritamu. Membalutku dalam sepi yang damai. Karena untuk saling memahami tidak diperlukan untaian kata-kata yang panjang. Hanya kita butuh saling merasakan.

Hei kamu, bisakah suatu hari nanti yang gerimis kita bertemu lagi. Untuk merangkai kata yang sepi... karena aku sudah terlanjur jatuh cinta dalam sepimu

↜ The End ↝



Cerita yang datar. Soalnya baru belajar merangkai kata.

Comments